Pernahkah kamu merasa gelisah saat melihat teman-temanmu membagikan momen liburan atau merayakan keberhasilan mereka, sementara kamu hanya berada dirumah dengan rutinitas yang biasa saja? Ternyata perasaan gelisah itu disebut dengan FOMO, salah satu fenomena psikologis yang kini semakin sering dialami banyak orang dalam kehidupan sosial.
Salah satu penelitian mengenai FOMO menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa mengalami fenomena tersebut dalam kategori rendah yaitu sebesar 47,95% yang berarti masih bisa mengelola perasaan takut tertinggal informasi atau pengalaman serta tidak terganggu akan keberadaan aktivitas sosial dan digital.
Sedangkan, terdapat sebesar 23,46% mahasiswa lainnya mengalami FOMO dalam kategori cukup tinggi dengan sebagian dari mereka seringkali merasa gelisah ketika tidak dapat mengikuti perkembangan terbaru atau berpartisipasi pada kegiatan sosial maupun digital yang dianggap penting.
FOMO atau Fear of Missing Out adalah keadaan emosional negatif yang dihasilkan dari kebutuhan keterkaitan sosial yang tidak terpenuhi yang melibatkan pengaruh negatif dari kebutuhan sosial yang tidak terpenuhi mirip dengan teori tentang efek emosional negatif dari pengucilan sosial.
FOMO bisa diartikan fenomena psikologis yang relatif baru. hal ini mungkin ada sebagai perasaan sesaat yang terjadi di tengah percakapan sebagai disposisi jangka panjang atau keadaan pikiran yang membuat individu merasakan keresahan sosial yang lebih dalam, kesepian, atau kemarahan yang intens.
FOMO pertama kali diidentifikasi pada tahun 1996 oleh Dr Dan Harmen yang percaya bahwa konsep FOMO telah berkembang pesat dan tersebar luas melalui penggunaan ponsel, SMS, dan media sosial. Beberapa hal tersebut yang membantunya menyempurnakan konsep ketakutan dan kehilangan momen secara massal.
Menurut Andrew K. Przybylski, seorang psikolog dan peneliti yang pertama kali mengidentifikasi Fear of Missing Out atau FOMO mendefinisikan perasaan tidak nyaman ketika orang lain mengalami hal-hal yang lebih memuaskan dan tidak dialami diri sendiri.
Sering membandingkan diri setelah melakukan scroll social media? Atau merasa terdorong untuk selalu mengikuti tren? Bisa jadi kamu sedang mengalami FOMO, yang tanpa disadari bisa mempengaruhi kesehatan mental dan sosial kamu. Kamu harus tahu, kalau ternyata kita bisa mengatasinya dengan melakukan konseling loh. Penasaran? Baca artikel ini sampai habis ya.
Di era digital, FOMO sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial yang bermasalah karena kemudahan akses bagi remaja untuk berinteraksi sesuka hati dan kebutuhan yang berkelanjutan terhadap validasi pribadi dan penilaian penghargaan dari perasaan diri yang terpengaruh.
Terjadinya FOMO juga bisa terlihat dari sekitar 78% total pengguna media sosial di Indonesia didominasi oleh generasi muda dan dewasa awal, terutama pada pelajar sekolah. Dengan banyaknya aktivitas dan informasi yang tersebar secara real-time di media sosial dapat mendorong FOMO semakin memberi tekanan sosial yang kuat pada diri mereka.
Keterkaitan FOMO dengan media sosial dapat membuat seseorang merasa candu melalui kebutuhan dan dorongan yang muncul dalam mempertahankan komunikasi. Hal ini terlihat dari tersedianya informasi dari media sosial yang memungkinkan seseorang dapat mengetahui apapun yang dilakukan orang lain sepanjang waktu.
FOMO merupakan bentuk ketidakpuasan emosional yang disebabkan oleh rasa tertinggal akan sesuatu yang berharga dan sering diperburuk oleh keberadaan media sosial. Perilaku FOMO yang diperburuk oleh media sosial karena orang dapat segera melihat kegiatan orang lain yang membuat mereka merasa harus terus terlibat agar tidak merasa tertinggal.
Terdapat penelitian lain menunjukan hubungan antara FOMO dan kecanduan media sosial mengarah pada sifat positif sebesar 9,2% berartikan semakin tinggi tingkat kecanduan media sosial akan membuat semakin tinggi juga tingkat fenomena FOMO yang dirasakan seseorang. Hal ini menyebabkan perubahan pola interaksi sosial akan lebih banyak terjadi secara virtual daripada tatap muka.
Sekitar 44,53% remaja dan dewasa awal mengalami rasa takut mendapatkan respon negatif dan penolakan dari orang lain, jika mereka tidak aktif di media sosial. Perasaan takut ini termasuk bagian dari kecemasan sosial yang seringkali muncul untuk selalu tampil sempurna dan diterima secara sosial di dunia maya.
Seseorang yang merasa FOMO dapat mengakibatkan munculnya perasaan cemas untuk membandingkan kehidupannya dengan unggahan orang lain di media sosial. Kehadiran FOMO juga dapat menyebabkan perasaan iri saat melihat orang lain sedang bersenang-senang yang dibagikan di media sosial, sehingga akan berdampak pada perasaan insecure atau perasaan tidak percaya diri, takut dianggap kurang bergaul, dan akhirnya rela menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
FOMO dianggap sebagai jenis keterikatan bermasalah di media sosial dan dikaitkan dengan berbagai pengalaman dan perasaan hidup negatif, seperti kurang tidur, berkurangnya kompetensi hidup, ketegangan emosional, efek negatif pada kesejahteraan fisik, kecemasan, kurang kontrol emosi dengan hubungan intim sebagai cara untuk melawan penolakan sosial.
FOMO mencakup dua proses yaitu dimulai dengan persepsi kehilangan yang diikuti dengan perilaku kompulsif untuk mempertahankan hubungan sosial. Singkatnya, FOMO terjadi dikarenakan seseorang yang merasa kehilangan sesuatu yang berharga, kemudian berusaha secara spontan untuk mengatasi perasaan itu dengan terus terhubung dan memantau aktivitas sosial orang lain.
Aspek sosial dari FOMO dapat diartikan sebagai keterkaitan yang mengacu pada kebutuhan untuk memiliki dan pembentukan hubungan interpersonal yang kuat dan stabil. FOMO mendorong seseorang untuk aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial agar tidak merasa tertinggal, sehingga dapat memperkuat jejaring sosial dan solidaritas di masyarakat.
Terkadang seseorang yang mengalami FOMO positifnya akan membuat mereka merasa lebih termotivasi untuk ikut serta kegiatan sosial yang dapat memperluas lingkaran pertemanan dan memperkuat hubungan yang sudah ada, dikarenakan seringnya berinteraksi dengan orang lain dan cenderung selalu mengikuti perkembangan dan isu-isu sosial terbaru.
Untuk mengatasi FOMO bukanlah tentang menghindari media sosial atau teknologi, tetapi memahami bagaimana seseorang bisa hidup secara lebih terhubung dengan realitas sendiri. Secara psikologis, penting mengenali emosi dan pikiran yang melatarbelakangi perasaan seseorang mengenai FOMO bisa memberikan wawasan berharga tentang apa yang benar-benar diperlukan untuk merasa puas dan berharga.
Dengan melakukan konseling psikologis bisa menjadi alat yang berguna dalam mengeksplorasi mengenai FOMO. Seseorang dapat mengikuti konseling bersama psikolog secara langsung maupun peer counselor yang merupakan teman sebaya. Terlebih untuk gen z yang paling banyak mengalami FOMO.
Jika kamu memilih bersama psikolog, kamu akan diberi bantuan mengenai pemahaman pikiran dan perasaan yang seringkali tanpa sadar muncul saat mengalami FOMO. Sedangkan dengan peer counselor, kamu akan merasa memiliki teman cerita yang sangat bersedia mendengarkan tanpa menjudge semua cerita-cerita kamu terutama saat kamu mengalami FOMO, karena sudah pasti pernah mengalaminya dan sangat memahami perasaan tersebut.
Jangan biarkan FOMO terus menguasai pikiran dan emosi kamu. Yuk, mulai langkah pertama kamu untuk perubahan yang positif, dengan kamu bisa langsung menghubungi kami dan segera melakukan pendaftaran konseling di website kami https://berbinar.in/produk/konseling serta tentukan sendiri pilihan konselor untukmu!
Bagaimana cara pendaftarannya?
1. Mengisi formulir pendaftaran melalui https://berbinar.in/counseling/reg/layanan
2. Lakukan pembayaran ke rekening bank yang tertera
3. Tunggu konfirmasi dan informasi selanjutnya dari admin
Sangat mudah bukan? Segera daftarkan diri kamu ya!
Sumber Referensi:
Maysitoh, Ifdil, dan Zandrian Ardi. (2020). “FOMO (Fear of Missing Out) Tendency in Millennials.” Journal of Counseling, Education and Society 1.1. Universitas Negeri Padang.
Tokii, A. S., Sinring A., dan Farida Aryani. (2025). “Fear of Missing Out (FOMO): Penyebab, Dampak, dan Penanganannya di Lingkungan Sekolah Menengah Atas.” Ristekdik: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10.1. Universitas Negeri Makassar.
Dewi, G. S., dan Rahman, M. A. (2023). “Kamus Lengkap Psikologi: Kamus Psikologi Paling Update Dan Lengkap Menyajikan Istilah Psikologi Dan Psikologi Klinis Saat Ini Rujukan Wajib Untuk Para Psikolog Dan Psikiater.” Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.
Aulia, Farah, et al. (2024). “Remaja dan Problematic Internet Use.” Yogyakarta: Deepublish.
Bantara, Bagas. (2023). “Psikologi Gelap Internet: Memahami Sisi Tersembunyi dari Dunia Maya: Kecanduan Media Sosial Ketika “Like” Menjadi Obsesi.”